Sunday, May 11, 2008

Emi dan Keluargaku

Tidak usah berpikir terlalu jauh saat kita membicarakan kemiskinan. Karena dampak kemiskinan itu sendiri sangat dekat dengan lingkungan rumah kita. Contohnya ialah pembantu. Seseorang yang mempunyai kemampuan lebih pasti akan memilih pekerjaan yang bisa memaksimalkan dirinya. Namun, kemiskinanlah yang menyebabkan dia tidak bisa menggapai hal tersebut. Karena keadaan ekonomi yang tidak mencukupi, maka Mbak Emi, pembantu yang bekerja di keluarga kami harus menjadi tulang punggung keluarga.
Saya mewawancarainya seusai memasak makan siang.
"Mbak, umurnya berapa?"
"Sembilan belas, Kak (panggilan dia ke saya.)"
"Mbak sekolah sampai kelas berapa?"
" Mbak cuma lulus SMP. Itu aja udah bersyukur banget. Sebenernya pengen lebih. Tapi engga punya daya. Jadi deh kerja"
"Dari kapan udah kerja jadi pembantu?"
"Pas umur 17an. Waktu itu ibu saya meninggal. Jadi aku harus bantuin ayah di kampung. Akhirnya saya ikut sodara kerja"
"Suka dukanya jadi PRT apa mbak?"
"Kalo majikan saya banyak nuntut banyak, Kak. Terus disuruh tidur baru malam. Dulu ada majikan saya yang engga ngijinin saya nonton teve. Terus yang saya lakuin di mata Ibunya salah terus. Padahal kak, saya sedikit punya gangguan di telinga."
"Oh gitu mbak (saya terhenyak, selama ini pantas saja dia sering tidak mendengar saat saya memanggilnya)"
"Terus keluhan mbak selama kerja disini?"
"Apa ya, Kak? Stefan suka teriak-teriak, dia kerjaannya marah mulu. Ibu mau semuanya sempurna, tapi untung dia tidak memperlakukan saya tidak wajar, masih baik. Dan untungnya lagi saya bisa ngikutin. Kakak, suka panik duluan kalo barangnya ilang. Emang sih, kakak engga pernah nuduh saya, cuma sayanya jadi linglung juga kalo kaya gitu."
"Terus apa yang mbak suka kerja disini?"
"Bisa punya banyak waktu buat nonton teve. Abis hiburannya memamng cuma itu saja. Trus tugasnya juga hanya masak, ngepel, nyuci nyetrika. Saya malah senang suruh nyapu taman. hehehehe ..."
"Mbak, punya harapan masa depan?"
"Hmm, mau hidup bahagia aja. Mau cari jodoh"
"Mbak, aku lupa, mbak sering kangen sama orang tua?"
"Iya. Tapi udah biasa, jadinya ya tidak apa-apa".
"Oh, makasih ya, Mbak"

Refleksi yang saya dapat dari wawancara saya dengan Mbak Emi ialah bahwa hidup itu sebuah perjuangan. Mereka yang ingin bertahan hidup haruslah berjuang dengan keras. Mbak Emi adalah salah satu contoh yang berjuang namun tetap melakukan cara yang halal. Oleh karena itu saya harus terus berjuang agar memiliki kehidupan yang layak. Dengan belajar di sekolah sebagai bekal untuk hidup. Dia juga mengatakan sudah sangat bersyukur bisa bersekolah samapi SMP. Apalagi saya yang bisa bersekolah sampai SMA di Santa Ursula pula. Walau terkadang saya merasa berat, tapi inilah hidup. Pada fase inilah mental saya benar-benar ditempa untuk keluar ke dunia luar yang lebih keji lagi dalam memperlakukan manusia.
Mbak Emi juga bercerita tentang ibunya yang sudah meninggal. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa kehadiran Ibu. Karena seorang ibu sangat tau hati anaknya. Dia selalu menyarankan yang terbaik untuk anaknya. Apalagi, saya orang yang sangat dekat dengan ibu saya. Saya selalu menceritkan segala keluh kesah saya kepada beliau. Oleh karena itu saya harus menghargai orang tua saya. Seringkali saya merasa emosi karena adanya perbedaan pendapat, tapi saya yakin mereka akan selalu memberikan proteksi yang terbaik bagi diri saya. Apalagi saya tetap harus bersyukur karena tidak harus tinggal jauh dari orang tua. Setiap hari saya bisa melihat wajah mereka. Belum lagi menonton teve bukan hiburan saya seutuhnya. Orang tua saya masih bisa menyediakan hiburan yang lain.
Intinya dari refleksi ini berjuang dan bersyukurlah dalam segala hal. Dan saya juga harus lebih menghargai pembantu yang sangat membatu keluarga saya. Entah itu baik, ataukah buruk. Karena semua diciptakan dengan maksud.

No comments: