Hasil Wawancara
Pada hari Selasa (22/4), kami berdua (Cella dan Maya) pergi berkeliling jalan pos untuk mencari orang yang tepat untuk kami wawancari. Dan kami pun melihat seorang bapak tua penjual koran, majalah dan tabloid. Kami pun berbincang-bincang, dengan bapak yang ternyata telah berdagang koran di kantor pos sejak tahun 1966 ini. Kami banyak melihat dan mendengar pasang surut sebagai seorang penjual koran yang juga sebagai seseorang yang tidak mampu.
Ia pun bercerita bagaimana cara ia berjualan koran. Pertama, ia akan pergi ke agen dari berbagai tempat (seperti di senen, lapangan banteng, dll) untuk mendapatkan harga yang semurah mungkin walaupun itu hanya berbeda beberapa ratus rupiah saja. Karena menurut mereka perbedaan beberapa ratus rupiah sangat berarti bagi mereka. Kemudian ia akan membeli majalah tersebut. Ia tidak melakukan sistem “titipan” (yang berarti si penjual dapat mengembalikan kembali pada sang agen jika tidak laku dan hanya membayar majalah yang terjual saja) karena harga satu majalah menjadi jauh lebih mahal dibandingkan jika ia membeli sendiri yang resikonya jika tidak laku ia tidak dapat mengembalikannya kepada sang agen serta ia harus membayar semuanya yang ia ambil. Sehingga kita dapat membayangkan bagaimana bila majalah yang dibelinya tersebut tidak laku. Ia akan menanggung kerugian seharga barang yang telah ia beli tersebut.
Padahal yang menjadi pendapatannya adalah keuntungan dari menjual koran, majalah, dan tabloid tersebut yang tidak seberapa besar. Keuntungan yang dapat diambil dari menjual satu koran saja hanya Rp 200,00 sedangan untuk penjualan satu tabloid hanya Rp 500,00 dan untuk satu majalah hanya Rp 1.000,00. Sehingga dapat dimengerti jika Bapak ini tidak mau menyebutkan secara langsung berapa keuntungan yang ia dapat dalam menjual semua barang dagangannya itu. Tapi bila dihitung secara kasar dan diandaikan jika ia dapat menjual koran sebanyak dua puluh sehari maka ia telah memperoleh keuntungan sebanyak Rp 4.000,00 kemudian jika ia dapat menjual sepuluh tabloid dalam sehari, ia akan memperoleh keuntungan Rp 5.000,00. Selain itu, menjual majalah tidaklah mudah. Jadi kita anggap saja ia dapat menjual lima buah majalah. Maka ia akan mendapat keuntungan Rp 5.000,00. Dari perhitungan kasar ini, kurang lebih ia mendapatkan keuntungan Rp 14.000,00 tapi bagaimana dengan dagangannya yang tidak laku. Ia pasti akan mengalami kerugian lagi. Oleh karena itu keuntungan Rp 14.000,00 itu masih merupakan keuntungan kotor. Bukan keuntungan yang bersih. Jadi kami berdua belum dapat memperhitungkan keuntungan bersih yang ia dapatkan dalam penjualannya selama sehari.
Ia pun juga bercerita bilamana ia sedang mengalami kesulitan uang untuk keperluan rumah tangganya, ia akan menjual majalahnya lebih murah dikalangan penjual koran dan tentu saja ia akan mengalami kerugian yang cukup besar. Dengan hasil penjualan yang tidak menentu ini, ia memang dapat memberi makan istri dan empat orang anaknya ini. Namun untuk kebutuhan sekunder sangatlah jauh dari harapan. Terutama untuk pendidikan anak-anaknya.
Ia bercerita bagaimana ketiga anaknya dari empat anaknya yang telah putus sekolah karena keterbatasan biaya. Anaknya yang pertama saja dapat menyelesaikan pendidikannya sampai ke jenjang S1 karena mendapatkan beasiswa. Namun gelar S1 tersebut tidak menjamin sang anak untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, hal itu terbukti dengan pekerjaan anaknya yang pertama adalah sebagai ticketing di bus transjakarta. Belum lagi anaknya yang perempuan di drop out dari sekolah perawat karena tidak mampu membayar biayanya. Menurutnya, ini sungguh tidak adil dan andai saja ia dapat menangis, mungkin ia sudah menangis.
Bapak ini berkata kepada kami bahwa kami sangatlah beruntung menjadi seorang anak yang kebutuhannya tercukupi dan bisa di sekolah yang bagus. Ia pun berpesan agar kami tidak menyia-nyiakan pendidikan yang kami dapat. Dan ia juga secara tak langsung menghimbau kepada kami, agar kita ini menjadi seorang yang perhatian kepada kaum papa yang ada disekitar mereka.
Kurang lebih seperti itulah wawancara singkat kami kepada seorang Bapak yang mempunyai pekerjaan sebagai penjual koran. Semoga wawancara ini dapat membuka mata dan hati kita sehingga kita dapat mendobrak tembok yang selama ini membelenggu diri kita dan dapat menginspirasi kita untuk berbuat sesuatu untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan kita. Dapatkah kita sadari ternyata banyak orang-orang yang membutuhkan pertolongan kita dan sebenarnya mereka selama ini berada di sekitar kita?
Refleksi Cella/15
Setelah mendengarkan kisah hidup sang Bapak, kita seharusnya merasa malu dengan diri kita sendiri. Kita sering merasa malas untuk bersekolah dan tidak jarang pula mengeluh jika disuruh pergi kursus. Padahal itu semua demi kepentingan kita sendiri di masa yang akan datang. Selain itu, kita juga sering tidak merasa puas dan bersyukur dengan apa yang telah kita miliki sekarang. Padahal masih banyak orang yang kekurangan dan mereka bersyukur untuk apa yang mereka dapatkan hari itu. Kita harusnya menyadari ternyata masih banyak orang yang tidak dapat hidup dengan layak dan masih banyak yang diperlakukan tidak adil hanya karena mereka tidak memiliki uang dan kedudukan. Mereka direndahkan dan seringkali tidak dianggap. Padahal tidak sedikit juga dari mereka yang memiliki bakat lebih dari kita. Oleh karena wawancara ini, kita menjadi tahu bahwa tidak banyak orang yang mendapat penghidupan dan pendidikan yang layak. Masih banyak yang harus bekerja keras hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi tidak jarang kita membuang-buang makanan dengan alasan yang klise. Saya harap dengan wawancara ini, kita membuka mata dan hati kita untuk orang-orang yang ada di sekitar kita yang membutuhkan bantuan kita.
Refleksi Maya/21
Dalam kehidupan memang kemiskinan menjadi salah satu pewarna dalam kehidupan. Namun yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapi dari kemiskinan tersebut. Seperti bapak tersebut, walaupun kemiskinan telah melanda dirinya ia tetap tabah dan sabar menghadapi kemiskinan dirinya dan keluarga. Dari perbincangan itu, saya makin menyadari dan bersyukur saya bisa bersekolah di tempat yang bagus dan juga tidak serba berkekurangan seperti mereka. Oleh karena itu, kita juga harus membagi kesenangan kita kepada mereka yang tidak mempunyai ‘hal yang sama’ seperti kita. Dengan misalnya pergi ke panti asuhan untuk menderma kepeda mereka yang ada dipanti asuhan. Atau setidaknya kita memberikan perhatian kemudian menaruh hormat kepada mereka. Tidak menganggap jijik mereka. Namun jangan juga memberikan sedekah kepada mereka sebagai bentuk dari kebaikan kita karena memang dengan memberikan uang itu tidak mendidik mereka agar bekerja dengan keras. Dan juga akan terlihat bahwa untuk mendapatkan sesuatu kita harus bekerja keras.
Friday, April 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment