Friday, April 25, 2008

Wawancara - Theresia X5/27 & Verina X5/29



Tugas Religiositas

Kami mewawancarai seorang pedagang mainan di Gelora Bung Karno Senayan.

T: Theresia

V: Verina

P: Pedagang

19/04/08, 18:44

T: ehm, Bapak namanya siapa ya pak?

P: Muhammad Toha.

V: Siapa pak ?

P: Muhammad Toha.

T: Oo. Bapak udah lama jualan disini?

P: Udah. Udah lama.

V: Dari kapan ya pak?

P: Udah dari tahun . . ’85.

T: Jualannya selalu di Senayan pak?

P: Di pameran pameran senayan aja. Kadang-kadang di balai sidang, di istora, di tennis indoor, ada musik-musik(baca: konser –red) saya jualan disitu. Kalo enggak misalnya ada gereja-gereja.

T: Ooo gitu. Ehm.. Penghasilan kira-kira berapa pak?
P: ehm, dapet satu hari kira-kira 85, 90.

V: Per hari ya pak?

P: Iya. Per hari. Kadang 75ribu.

T: Modal biasa berapa pak?

P: Modal 40 biasanya. Kalo modal 40 ya dapetlah untung kira-kira 35 ato 40.

V: Bapak berkeluarga ?

P: Iya. Anak saya sebelas.

T: hah? Sebelas pak? Bapak punya anak sebelas?

P: iya, yang lima udah kawin. Jadi sekarang tinggal enam.

V: ooo. Bapak tinggal dimana pak?

P: Tinggal di Manggarai.

T: Berarti bapak udah punya rumah tetap ya pak?

P: yah, setengah-setengahlah dek.

V: Bapak juga udah punya cucu ya pak?

P: oh, cucu. Ada.

V: Tapi gak bapak biayain kan?

P: Enggak. Allhambulillah anak-anak saya bisa ngidupin cucu-cucu saya.

T: Anak bapak masih ada yang sekolah?

P: Ada mbak. Masih ada yang SMEA kelas tiga. Yang paling kecil kelas empat. Kelas empat SD.

V: Tapi semua yang udah kawin udah kerja kan pak?

P: Iya. Lima-limanya udah punya rumah semua.

T: Bapak penghasilan gak tetap kan pak ya?
P: enggak mbak. Paling jualan laku kalo ada acara-acara aja sabtu atau minggu. Hari-hari biasa sih susah mau makan aja.

T: Oo gitu. Terus pak. Kalo dulu mainan yang bapak jual ini kan masih jarang ya pak ya? Dulu bapak jual apa?

P: Iya. Masih jarang. Dulu jualnya peri-peri gitu. Bando-bando, pistol-pistolan dari air.

T: Iya deh. Makasih waktunya ya pak ya.

V: Makasih ya pak.

P: Iya dek. Sama-sama.

Refleksi Pribadi, Sabtu 19 April 2008.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan Theresia Carolina dan Verina dengan seorang pedagang mainan di daerah senayan. BAPAK MUHAMMAD TOHA.

Saya, Theresia Carolina mengadakan wawancara dengan bapak dari 11 orang anak itu. Jujur, baru pertama kalinya saya benar-benar bertemu dengan seseorang yang memiliki anak sebanyak itu. Yang membuat saya lebih heran… ia yang sudah tua masih harus menghidupi 6 dari 11 orang anaknya. 5 orang anak dari Bapak Muhammad Toha sudah berkeluarga dan untungnya bisa menghidupi keluarganya masing-masing. Memang tanggungannya sudah berkurang karena anak-anaknya sudah berkeluarga, namun ia yang sudah tua masih harus menghidupi enam anaknya dan dirinya sendiri. Anaknya yang paling muda sekarang kelas empat SD dan dengan keadaan yang seperti itu ia masih bisa tersenyum…

Saya bingung, tidak percaya, dan malu. Dalam pikiran saya, orang yang saya mintai waktunya untuk diwawancarai pastilah akan mengharapkan imbalan, namun pada kenyataannya tidak begitu dengan Bapak Muhammad Toha. Memang pemikiran saya buruk pertama kalinya, tapi saya menyesal sudah sempat berpikir seperti itu. Ayah dari 11 anak ini tersenyum mengatakan “ya” saat saya minta ijin untuk diwawancarai. Ia mengesampingkan pekerjaannya dan fokus pada pertanyaan-pertanyaan yang kami berikan. Ia masih sempat tersenyum dan tertawa di sela-sela pembicaraan tentang pendapatannya yang kecil dan keluarganya yang besar.

Saya merasa tertohok. Saya yang hidupnya serba berkecukupan saja sering sekali marah-marah, bt, atau malah sampai nangis sendiri di kamar karena alasan yang kurang jelas. Rasanya saya bersalah sekali bila dibandingkan dengan bapak tua yang berdiri di depan saya saat itu. Ia berjualan dari pagi sampai malam dan mendapatkan uang Rp30.000 dengan senyum di mukanya. Sedangkan saya menerima uang Rp 50.000 dengan muka kesal karena merasa kurang. Anggapan saya secara sadar tak sadar bahwa saya adalah seseorang yang berada di atas orang seperti Muhammad Toha sangatlah salah begitu ia mengatakan, “yah harus dibawa seneng dek. Kalo dibawa susah terus cepet mati.” Kepada saya. Rasanya seakan jatuh dan penuh luka.

Kalo diingat-ingat lagi hari itu saya tidak bisa dijemput dari rumah teman saya. Karena itu saya marah-marah. Saya memarahi supir dan semua orang dirumah. Hanya karena hal sepele seperti itu saya marah-marah sedangkan Bapak Toha yang tiap-tiap hari harus berjualan demi kehidupannya masih bisa tersenyum. Ia bisa tersenyum meski ia tidak tahu akan dapat uang berapa hari itu. Ia bahkan tidak tahu apa bisa membayar uang sekolah anaknya atau bisa makan atau tidak malam itu. Dengan wawancara ini saya benar-benar disadarkan. Dibangunkan dari mimpi dan anggapan yang salah selama ini. Dibenarkan kesalahan saya yang berpikir bahwa saya lebih tinggi. Berada di atas. Biar dalam segi materi saya bisa saja berada di atas Pak Toha namun dari nilai-nilai kehidupan… saya jauh di bawahnya.

Theresia/27


Refleksi Pribadi : Sabtu , 19 April 2008 ,

Saya Verina dan teman saya, Theresia. Sedang berada di sebuah tempat yaitu Pasar Festival di Parkir Timur Senayan. Sorenya itu kami bertemu dengan seorang kakek di dekat pinggiran gerbang keluar. Ia sedang menjual mainan lampu. Saya pun mengajak teman saya untuk mewawancarainya. Ketika ia di wawancarai, saya merasakan sesuatu yang mengharukan.

Sekarang saya akan mengulang sedikit latar belakang Pak Muhammad Toha dan juga sebagian sebagai refleksi saya pada hari ini...........

Kakek itu bernama Muhammad Toha, ia kira – kira sudah berumur 65 tahun. Ia mempunyai 11 anak dan 5 diantaranya sudah bekerja. Sebagian juga sudah menikah serta ada anaknya yang masih bersekolah. Sekarang istrinya sudah meninggal. Kini hanya dia yang dapat menjaga anak- anaknya dengan usianya yang sudah berlanjut. Saya melihat bahwa dirinya adalah seorang pekerja keras. Sebab dengan usianya ini, ia masih mempunyai semangat hidup untuk mencari penghasilan atau kecukupan bagi anaknya. Ia tak mengenal lelah, walaupun hari sudah semakin malam.

Dengan usahanya yang keras, saya menyadari bahwa begitu besar perjuangan yang ia lakukan demi membelikan makan ataupun keperluan sekolah bagi anaknya. Sewaktu itu juga saya merasakan bila saya berada di posisinya, mungkin saya bisa dengan cepat mengeluh karena kelelahan. Tapi apa yang tergambar dalam wajah kakek itu, ia tak pernah mengeluh...Ia juga tak pernah menampakkan wajahnya di depan anak – anaknya bahwa ia lelah, ia juga merasa bahwa ia tak mau membuat anaknya khawatir. Ia bekerja demi kebahagiaan anaknya. Kadang bila penghasilan yang ia dapatkan sedikit, ia berusaha untuk mencari tempat lain dengan menghemat uang dengan berjalan kaki tanpa menggunakan mobil angkutan. Dibandingkan dengan kita, sedikit jalan sudah merasa lelah atau capai, merasa panas karena terkena terik matahari.

Tidak sama dengan orang yang biasanya yang hanya meminta uang di jalanan dan dengan seenaknya meminta uang tanpa adanya usaha keras yang sama seperti yang dilakukan oleh kakek itu. Kadang saya berfikir bila saja saya berada di posisi sebagai orang yang membeli barang, di mana saya juga belum mengetahui latar belakangnya tapi ia terus berjuang untuk mendapatkan uang dengan menawarkan barang yang ia jual, namun kita tidak memedulikannya. Apa yang muncul di benak kita? Mungkin kita berfikir bahwa “ Ah kenapa harus beli di sini, lebih baik beli di mall saja lebih bagus dan lebih antik.” Apakah kita pernah menyadarinya bahwa kata – kata ini bila kita ucapkan di depannya atau tanpa sengaja terucapkan, dapat menyakiti hatinya. Karena ia-lah yang membuat benda – benda itu untuk dijual. Menggunakan barang - barang bekas untuk membuat barang seperti ini. Karena mereka tak cukup uang untuk membeli bahan- bahannya, maka mereka berfikir untuk membuatnya sendiri. Usaha yang telah ia buat malah kita tolak dan tak mau membelinya.

Begitu banyak tanggungan besar yang masih harus ia hadapi, namun kita yang berada di posisi di mana kita sudah terpenuhi, baiknya bila kita tidak menyiakannya. Karena kadang ada sebagian orang yang masih tidak cukup pada sesuatu yang telah ia dapatkan. Pada saat kita mendapatkan makanan kita kadang mengeluh bahwa makanan yang kita dapat rasanya kurang enak, pasti ada saja keluhan yang kita keluarkan. Tapi bagaimana jika berada di posisi di mana kita tidak memiliki sesuatu, seperti makanan saja sulit untuk diperoleh. Mungkin saja makan dalam 1 hari hanya bisa sekali saja. Tapi mereka yang tak mampu, berusaha untuk berfikir positif, bahwa asalkan mereka bersama dengan keluarganya, mereka sudah merasa bahagia. Mereka tegar untuk tidak mengeluh. Mereka tak mau mengenal kata putus asa.

Alangkah baiknya kita di masa remaja ini saling membantu orang yang kurang mampu. Janganlah kita sedikit – sedikit mengeluh pada sesuatu yang tidak ada hasilnya. Tapi cobalah untuk berfikir positif, dan syukurilah pada apa yang telah kita dapatkan selama ini.


Verina/29


No comments: