Thursday, April 24, 2008

Refleksi: Dari Sayur Menjadi Uang

Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kebutuhan materi. Jika dilihat dari kacamata modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.

Kemiskinan sudah menjadi penyakit sosial ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia. Penyakit ini susah diberantas seperti sebuah kutil yang menclok di kulit kita. Oleh karena itu, Indonesia masih harus berkutat dengan masalah yang dihadapi oleh negaranya, yakni kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian warganya. Pak Jumadi adalah salah satu potret orang yang kurang berkecukupan. Pak Jumadi yang miskin secara materi tetapi tidak miskin secara rohani. Boleh orang mengatakan, bajunya kumel, penampilannya dekil, badan bau, atau apa lah. Tapi ada satu hal yang tersembunyi di balik penampilannya itu. Kekayaan hati. Di tengah segala penderitaanya di masih menyempatkan diri untuk sholat, berbicara dengan-Nya. Padahal masalah yang dihadapinya cukup rumit. Istrinya yang telah berpulang juga biaya yang besar untuk kedua anaknya agar kedua anaknya dapat menamatkan jenjang pendidikan yang sedang ditempuh. Segala permasalahan itu ia hadapi dan ia jalani sebagai salah satu rintangan dalam hidupnya. Ia tidak menyerah dan terus gigih untuk mendapatkan cukup uang. Pak Jumadi juga memprioritaskan kebutuhan anak – anaknya dibandingkan kebutuhan dia sendiri. Terbukti dari kerelaan hatinya untuk menyisihkan 70% dari gajinya untuk anak – anaknya di kampung. Pak Jumadi juga masih menyempatkan diri untuk menengok anak – anaknya setiap 2 bulan sekali.

Dari seorang Pak Jumadi, saya dapat memperoleh pembelajaran darinya. Satu, dia tidak patah semangat dalam menjalani rintangan di dalam hidupnya. Dua, dia lebih mementingkan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri. Dan yang terakhir, dia masih ingat dengan keluarganya. Tidak semua orang rela meninggalkan kesibukannya demi menengok keluarganya. Tapi Pak Jumadi berbeda. Dia masih ingat dengan keluarganya bahkan menjenguk mereka secara rutin.

Saya banyak bercermin dari Pak Jumadi. Dan hendaknya kita tidak meremehkan orang yang seba kurang berkecukupan seperti Pak Jumadi. Karena dari mereka lah kita bisa belajar dari kekayaan hati yang mereka miliki.

Nadya—X5-18-

No comments: