Saturday, April 26, 2008

WAWANCARA NONI (X5/13) DAN HANI (X5/24)


Jakarta merupakan sebuah kota besar dengan berbagai kehidupan yang mewah. Kota yang selalu sibuk setiap harinya, penuh kemacetan, dan seperti tidak pernah tidur. Namun tetap saja kota yang terlihat mewah ini tidak terhindar dari masalah kemiskinan. Masalah yang selalu dianggap sepele oleh kaum kelas atas namun nyatanya sangat berpengaruh dan terasa kehadirannya dalam kehidupan bernegara.

Untuk membuat kami, para generasi muda Indonesia, lebih peduli terhadap keadaan yang seperti ini, maka kami ditugaskan untuk mewawancarai pedagang-pedagang kecil agar kami bisa membuka mata kami untuk melihat lebih jauh masalah kemiskinan yang selama ini tidak kami rasakan.

Tanggal 20 April 2008, kami pergi ke Parkir Timur Senayan untuk mengunjungi Green Festival (GreenFest) dalam rangka mengerjakan tugas biologi. Kami berkeliling dan terlintas di benak untuk menyelesaikan tugas religiositas juga. Maka kami menghampiri seorang penjual kacang.

Kami membeli tiga bungkus kacang yang satunya berharga seribu rupiah. Setelah itu kami berkata kepada bapak penjual kacang tersebut bahwa kami mendapat tugas dari sekolah untuk mewawancarai seorang pedagang yang ada di Jakarta. Bapak itu dengan senang hati menerima pertanyaan-pertanyaan kami.

Bapak baik hati itu bernama Pak Oky. Ia berasal dari Kerawang, Jawa Barat. Setiap hari Pak Oky naik bus dari Kerawang menuju Jakarta dan menjual kacang yang dibawanya di daerah sekitar Senayan. Saat kami bertanya apakah kacang-kacang tersebut laku, Pak Oky hanya tersenyum dan menjawab, “Alhamdulilah, non”. Lalu percakapan antara kami dan Pak Oky pun mengalir lancar,

“Bapak suka gak sama pekerjaan ini?”

“Yah, mau tidak mau non. Kalau tidak saya mau kerja apalagi? Kalau ada pekerjaan lain juga saya mau, non. Ini saja bisa sehari cuma dapat Rp. 20.000,-”

“Cukup pak?”

“Ya, dicukup-cukupin”

“Omong-omong, anak bapak berapa pak?”

“Dua, non”

“Perempuan atau laki-laki, Pak?”

“Iya, dua-duanya non”

“Umur berapa pak, masih sekolah atau sudah kerja?”

“Yang cewek sih udah menikah trus kerja di Arab”

“Jadi TKW”

“Iya jadi TKW”

“Aman Pak di sana

“Aman non, suka telepon kok”

“Wah, bagus deh. Kalo yang cowok Pak?”

“Ada tuh di rumah. Gak kerja”

“Anak bapak sekolah sampai tingkat apa?”

“Ah, gak sekolah mereka non. Gak ada biaya buat sekolah”

“Oh, kalau bapak sendiri?”

“Saya sampai SD aja”

“Orangtua asal Kerawang, Pak?”

”Iya, non. Dua-duanya asal Kerawang”

“Berarti bapak lahir di sana ya?”

“Iya, saya asli orang Kerawang”

“Kenapa jualan di Jakarta Pak?”

“Oh, di Kerawang banyak non yang jualan kacang kayak saya”

“Banyak saingan ya Pak.”

“Iya, makanya saya ke sini biar laku”

“Ngomong-ngomong, Kerawang itu daerah Jawa mana ya, Pak?”

“Jawa Barat, non”

“Wah, ikut pilkada dong Pak beberapa hari lalu itu?”

“Wah iya non. Bener”

“Kalau boleh tau pilih yang mana nih, Pak?”

“Yang nomor dua non”

“Wah, sama dong kayak guru PKn kami. Dia juga pilih nomor dua Pak. Tapi gak menang ya Pak”

“Iya non, Ibu-ibu sukanya pilih artis”

“Haha iya Pak, biasanya ibu-ibu memang begitu !!”

Mendadak gerimis turun dan kian deras, terpaksa kami mengakhiri percakapan menarik kami dengan Pak Oky

“Hujan nih Pak. Kalau gitu udahan ya Pak. Makasi banyak ya Pak”

“Sama-sama non.”

Demikian wawancara kami dengan Pak Oky. Dari wawancara di atas, sedikit banyak kami belajar bahwa kehidupan kami yang sekarang patut kami syukuri. Banyak orang yang jauh tidak beruntung dari kami.


REFLEKSI

Kemiskinan pasti menjadi suatu masalah ekonomi utama di setiap negara. Dan kemiskinan sangat sulit diberantas terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Setelah mendapat tugas religiositas kali ini saya menjadi lebih tersadarkan akan adanya kemiskinan di kota tempat saya tinggal, Jakarta. Selama ini saya hanya tahu mereka ada tetapi saya masih kurang peduli terhadap mereka, para rakyat kecil.

Seperti seorang pedagang kacang yang saya wawancarai. Beliau merupakan orang Krawang asli yang mengadu nasibnya di Jakarta dengan berjualan kacang. Kedua anaknya sudah besar dan menikah, tapi keduanya tidak bersekolah sehingga sekarang tidak memiliki pekerjaan. Bapak penjual kacang tersebut bisa hanya sehari mendapat penghasilan sebesar Rp20.000,- dan jika dikalkulasikan, dalam seminggu ia hanya akan mendapatkan uang sejumlah Rp140.000,- dan saya, saya bisa saja menghabiskan Rp140.000,- dalam sehari dengan membelanjakan uang tersebut pada hari Minggu saat saya jalan-jalan ke mall.

Seringkali saya menyisakan makanan saya di piring atau membuang barang pemberian orang lain yang tidak saya sukai. Padahal, sementara saya membuang-buang makanan, masih banyak orang yang belum tentu dapat makan. Sementara saya membuang barang pemberian orang lain yang tidak saya sukai ada orang yang tidak bisa membeli barang apa-apa karena uang mereka bahkan untuk makan pun tidak cukup.

Seringkali saya malas bersekolah dan memaki-maki mengapa harus sekolah. Saya tak pernah berhenti mengeluh bahwa sekolah itu melelahkan dan menyebalkan padahal banyak orang di luar sana yang sanga ingin bersekolah namun tak bisa sekolah karena tak ada biaya.

Saya merasa sangat bodoh dan kurang bersyukur atas semua kehidupan yang saya jalankan ini. Saya merasa kurang kurang dan kurang. Saya selalu melihat ke atas, tak pernah sekalipun saya memandang ke bawah dan menyadari bahwa di sana banyak yang lebih tidak beruntung dari saya.

Dan dengan bertemu dan memahami kehidupan penjual kacang tersebut sekarang saya lebih bisa bersyukur dengan keadaan saya yang sekarang. Saya akan mencoba menjalani hidup saya dengan gembira karena Tuhan memberi saya hidup yang sebenarnya berkecukupan.

(NONI)



Kemiskinan adalah kata yang identik dengan orang yang tidak mempunyai uang. Dari segi ekonomi kemiskinan berarti ketiadaan daya beli seseorang. Sebetulnya kemiskinan tidak melulu mengenai materi. Ada banyak kemiskinan lain namun dalam hal ini kita akan menyorot kemiskinan materi.

Kami mewawancara Pak Oky, seorang penjual kacang di area GreenFest 2008. Awalnya kami takut menyinggung perasaanya bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Bahkan kami tidak tahu bagaimana memulai percakapan kami. Setelah beberapa menit penuh kecanggungan kami akhirnya berhasil mengupas sedikit demi sedikit kehidupan Pak Oky.

Dapat dilihat dari hasil wawancara kami, betapa keras perjuangan yang harus dilakukan demi mencari sesuap nasi. Jarak panjang dari Kerawang ke Jakarta ia tempuh setiap hari. Ketika berjualan pun terik matahari menerpa kulit. Habiskah dagangannya? Ternyata tidak. Cukupkah pendapatannya? Walaupun ia tidak mengatakan secara langsung namun kami dapat berpikir bahwa pendapatan sangat sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan untuk menyekolahkan anak-anaknya pun ia tak mampu. Alhasil anaknya pun tak mendapat peningkatan taraf hidup.

Kalau dirasakan dan diresapkan dalam hati, Pak Oky adalah sesosok manusia yang luar biasa karena hanya bermodal puluhan bungkus kacang ia berangkat subuh dan pulang petang. Tidak ada kepastian apakah hari ini ia akan membawa pulang berapa banyak. Tentulah dalam hatinya ada keyakinan bahwa Tuhan akan memberinya rejeki.

Keadaan Pak Oky pun menyentuh hati saya dan membuat saya berpikir betapa mudahnya hidup saya. Pulang pergi sekolah diantar mobil. Tidak usah berpikir membayar uang sekolah. Apalagi bila saya ‘jalan’ ke mall, pasti saya tinggal meminta uang dari orangtua saya. Setiap orang memang berbeda-beda perjuangannya namun tetap percakapan itu membuat saya bersyukur sekali atas rahmat yang Tuhan berikan pada keluarga saya. Saya bertekad untuk lebih hati-hati memakai uang dan menjalani peran saya sebagai anak dan pelajar sebaik mungkin.

Wawancara itu juga menimbulkan keprihatinan saya akan rendahnya pendidikan di Indonesia. Banyak orang miskin karena mereka tidak memiliki ilmu untuk ‘dijual’. Akibatnya mereka tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Hal demikian akan terulang terus menerus tanpa terputus sehingga angka penduduk miskin semakin bertambah. Semoga pemerintah dapat menyelesaikan masalah tersebut sehingga tidak ada lagi orang-orang seperti Pak Oky yang seharian bekerja namun hanya mendapat Rp 20.000,- pendapatan kotor.

Percakapan dengan Pak Oky pada hari Minggu, 20 April 2008 lalu telah berhasil membuat saya ‘melihat ke balik tembok’. Dengan kata lain, tujuan Bu Cecil menugaskan kami untuk mewawancarai orang-orang yang di bawah garis kemiskinan telah tercapai. Terima kasih, Bu

(HANI)


No comments: