“Hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah…”
Kira-kira pelajaran itulah yang saya dapat siang itu, ketika memulai berbincang-bincang dengan Bapak Supriyatna. Sejak kecil ibu selalu ingatkan saya tentang hidup yang seperti roda, sehingga saya bisa selalu bersyukur dan rendah hati. Namun, siang itu perumpamaan tentang hidup yang seperti roda, benar-benar terasa nyata. Pengalaman Bapak Supriyatna yang sebelumnya adalah pegawai pabrik yang hidupnya cukup, tiba-tiba terkena PHK sampai harus berjualan rujak, menyadarkan saya, betapa hidup sungguh mudah berubah jika Tuhan mau. Hidup saya sekarang cukup, tapi saya lupa bersyukur.
-Sejak terkena PHK, Bapak Supriyatna beralih profesi menjadi tukang rujak keliling, semua itu ia lakukan dengan ikhlas untuk menafkahi keluarganya. Ia rela mendorong gerobak rujaknya tepat ketika matahari berada di atas kepala, ia tak peduli akan terik matahari yang menyengat kulitnya. Ia tetap melangkahkan kakinya dari gang ke gang yang lain demi uang 3000 ribu rupiah untuk satu porsi rujak.- Hal itu menyadarkan saya, betapa mudahnya saya meminta uang 20000 ribu rupiah pada orang tua saya, bahkan lebih dari itu, asal tujuannya jelas dan masuk akal, bukan hal yang sulit meminta uang pada ayah dan ibu. Keuangan saya sekarang cukup, tapi saya lupa bersyukur.
-Di tengah-tengah pembicaraan ia bercerita tentang anak dan istrinya yang terpaksa ia tinggal di kampung, karena tidak kuat menanggung biaya hidup di Jakarta.- Saya tinggal satu kota dengan keluarga saya, satu rumah bahkan, tapi saya lupa bersyukur.
-Di akhir pembicaraan ia berkeluh kesah, tentang harga minyak tanah yang semakin tak terjangkau.- Di rumah saya tidak ada kompor minyak tanah, semua kompor gas yang praktis, tapi saya lupa bersyukur.
Ketika kita dapatkan yang kita butuhkan, dapatkan yang kita inginkan, kita terus melihat ke atas meminta dan terus meminta. Bukankah hidup harus lebih banyak memberi daripada menerima?
Ketika hidup kita berjalan baik, hidup kita berjalan cukup, kita malah terus melihat ke atas, kepada yang hidupnya berjalan sangat baik, kepada yang hidupnya sangat berlimpah harta. Bukankah hidup harus melihat ke bawah, ke orang- orang yang hidupnya jauh dari kata cukup? Sehingga kita tidak haus meminta tapi haus memberi.
Ketika hidup kita terasa berat, kita merasa segalanya berjalan tidak sesuai rencana, kita mengeluh dan terus mengeluh. Bukankah banyak yang hidupnya lebih menderita? Mereka tetap semangat menjalani hidup.
Maka siang itu, saya dapatkan banyak hal dari perjalanan hidup Bapak Supriyatna, namun saya temukan intinya, yang saya gunakan untuk melengkapi kalimat pertama saya..
“Hidup itu seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Maka ketika saya ada di atas, hendaknya saya bersyukur atas segala yang Tuhan beri, hendaknya saya bisa memperhatikan sesama yang membutuhkan. Namun, ketika hidup tak sesuai keinginan, maka percayalah Tuhan punya rencana, tetap jalani dengan lapang dada...”
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment